Pada era media sosial saat ini, gejala kebiasaan yang tidak terputus-putus untuk memeriksa Instagram pribadi telah semakin meningkat. Di tengah hubungan sosial yang saling terkoneksi secara digital, media sosial tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mencari validasi sosial. Sebagai contoh, platform media sosial seperti Instagram tidak hanya membentuk interaksi seseorang, tetapi juga memengaruhi pola pikir dan penilaian diri seseorang.
Dalam transformasi digital ini, muncul fenomena craving digital yang menyatakan kebutuhan mendesak untuk mendapatkan perhatian secara digital. Hal ini biasanya tercermin dalam likes, komentar, jumlah followers, atau views story. Craving ini tidak hanya tentang validasi, tetapi juga terkait dengan ketergantungan terhadap perangkat digital untuk mendapatkan hiburan atau kepuasan sesaat. Dari sisi neurologi, craving ini memiliki dasar biologis yang kuat, terutama melalui pelepasan hormon kebahagiaan seperti dopamin.
Dari sudut pandang psikologi, craving digital juga dapat dipahami dari perspektif teori psikoanalisis Sigmund Freud. Struktur psikis manusia yang terbagi menjadi id, ego, dan superego memainkan peran dalam interaksi individu dengan media sosial. Selain itu, krisis kesehatan mental global yang terjadi saat ini juga telah menyoroti dampak penggunaan media sosial yang intens terhadap kesehatan mental.
Penting bagi setiap individu untuk membangun kesadaran terhadap perilaku digitalnya, termasuk dengan melakukan Digital Detox atau membatasi waktu konsumsi media sosial. Selain itu, komunitas dan institusi juga perlu meningkatkan literasi digital untuk memahami dampak media sosial terhadap kesejahteraan psikologis. Dalam menghadapi fenomena craving digital, penting untuk memprioritaskan hubungan yang lebih sehat dengan media sosial dan membangun pengalaman digital yang mendukung kesejahteraan mental. Semua ini demi menciptakan ruang digital yang sehat, bermakna, dan mendukung interaksi manusiawi.