Pentingnya Problematika Hukum Seleksi Hakim Ad Hoc Tipikor

Pemberantasan korupsi menjadi fokus utama di Indonesia setelah reformasi tahun 1998. Korupsi di Orde Baru dan rezim otoritarian mengajarkan bahwa korupsi merusak negara dan menghalangi pemerintahan bersih dan demokratis. Untuk mengatasi masalah ini, berbagai instrumen khusus, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk.

Selain KPK, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juga didirikan untuk menangani kasus korupsi. Namun, keberadaan pengadilan ini dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945 dan menyebabkan kritik dari publik. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan beberapa pertimbangan terkait keberadaan pengadilan ini.

MK memerintahkan penyelarasan UU KPK dengan UUD 1945 dan pembentukan undang-undang khusus untuk Tipikor dalam waktu satu tahun. Meskipun RUU Pengadilan Tipikor disahkan pada 2009, kinerja pengadilan ini dianggap menurun. Banyak masalah muncul, termasuk vonis bebas dan keterlibatan hakim dalam suap.

Salah satu masalah yang mengakibatkan penurunan kinerja pengadilan Tipikor adalah seleksi hakim. Proses seleksi yang buru-buru mengakibatkan kualitas hakim dipertanyakan. Akademisi enggan mendaftar sebagai hakim Tipikor, sementara proses seleksi kekurangan anggaran dan kurangnya kerja sama dengan lembaga terkait seperti PPATK. Kurangnya kerjasama ini mengakibatkan rekam jejak calon hakim Tipikor tidak optimal, dan bisa merugikan proses hukum.