Proses Pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden Menurut UUD 1945

Proses pemakzulan presiden atau wakil presiden di Indonesia tidak bisa dilakukan secara sembarangan, karena terdapat mekanisme yang telah diatur dalam konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Mekanisme ini bertujuan untuk menjaga stabilitas negara dan memastikan bahwa pemberhentian presiden atau wakil presiden hanya terjadi jika ada pelanggaran serius terhadap hukum atau ketentuan konstitusi.

Menurut UUD 1945, usulan pemberhentian presiden atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR. Namun, sebelumnya DPR harus meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa apakah terdapat pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela. MK memiliki kewajiban untuk mengeluarkan putusan atas pendapat yang disampaikan DPR, dengan persyaratan setuju minimal dua pertiga dari anggota DPR yang hadir.

Setelah menerima usulan pemakzulan dari DPR dan putusan dari MK, MPR akan menggelar sidang paripurna dalam waktu maksimal 30 hari untuk mengambil keputusan. Keputusan pemakzulan harus disetujui oleh dua pertiga dari anggota yang hadir dalam rapat paripurna MPR. Sebelum keputusan diambil, presiden atau wakil presiden yang bersangkutan berhak untuk menyampaikan pembelaan di hadapan sidang MPR.

Dengan demikian, proses pemakzulan presiden atau wakil presiden melibatkan DPR sebagai pengusul, MK sebagai lembaga penilai dugaan pelanggaran, dan MPR sebagai pengambil keputusan akhir. Prosedur ini menegaskan bahwa pemakzulan harus melalui tahapan hukum dan konstitusional yang ketat, menunjukkan bahwa pemakzulan tidak bisa dilakukan sembarangan.

Source link