Masuk angin merupakan fenomena budaya yang unik di Indonesia. Menurut Atik Triratnawati, seorang Guru Besar Antropologi Kesehatan dari Universitas Gadjah Mada, masuk angin bukan hanya sekadar penyakit biasa. Atik menjelaskan bahwa masuk angin pada dasarnya adalah pengalaman subjektif seseorang terhadap rasa sakit yang dipengaruhi oleh faktor budaya. Di masyarakat Jawa, masuk angin diartikan sebagai kondisi tidak nyaman dengan gejala seperti pusing, meriang, pegal, mual, panas dingin, dan kembung.
Salah satu karakteristik utama dari masuk angin adalah beragamnya metode pengobatannya, yang umumnya bersifat tradisional. Masyarakat Indonesia memiliki berbagai cara untuk mengatasi masuk angin, seperti kerokan, pijat, atau minum jamu. Pendekatan ini tidak hanya bertujuan untuk meredakan gejala fisik, tetapi juga merupakan bagian dari ritual dan kepercayaan turun-temurun. Istilah “masuk angin” telah merambah ke berbagai etnis di Indonesia, dengan variasi cara pengobatan yang berbeda.
Menariknya, masuk angin seringkali dijadikan alasan sosial untuk menghindari aktivitas sehari-hari. Seseorang yang mengeluhkan masuk angin seringkali diberi pengertian jika tidak dapat melakukan kegiatan seperti sekolah, bekerja, atau menghadiri acara resmi. Hal ini menunjukkan bahwa masuk angin tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga memiliki aspek sosial dan budaya yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Menurut Atik, kata “masuk angin” kini telah meluas penggunaannya ke dalam bidang politik dan ekonomi.
Atik juga menjelaskan bahwa istilah ilmiah untuk masuk angin adalah borborygmi, yang merujuk pada sakit perut atau kembung akibat masukan udara. Bahasa Inggris juga mengenal istilah tersebut sebagai bowel sounds atau suara perut. Melalui pemahaman ini, kita dapat melihat bagaimana masuk angin tidak hanya menjadi masalah kesehatan, tetapi juga fenomena yang melibatkan aspek sosial, budaya, dan bahkan politik dan ekonomi dalam berbagai konteks.