Rotan dari Desa Ini Sudah Diekspor Sejak Tahun 80-an, Sekarang Menyumbang Devisa Miliaran Rupiah

Bisnis rotan di Desa Trangsan mengalami pasang surut. Pada tahun 2006, desa ini mengalami penurunan yang sangat drastis baik dari bahan baku, pemasaran, maupun permodalan.

Ada lima permasalahan besar yang dihadapi para pelaku usaha saat itu. Pertama, bahan baku rotan mulai menghilang karena banyak diekspor, sehingga hanya tersisa sisa-sisa ekspor untuk perajin rotan. Kedua, kualitas bahan baku yang menurun membuat pelanggan beralih ke industri rotan di Tiongkok.

Akibat kondisi tersebut, banyak penyedia modal tidak lagi percaya pada perajin di Trangsan sehingga mereka kesulitan mendapatkan modal. Tenaga kerja pun semakin berkurang karena memilih pekerjaan lain yang lebih menguntungkan.

Disamping itu, desain kerajinan rotan yang masih sederhana dan terbatas juga membuat Trangsan sulit bersaing di pasar.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, para perajin rotan membentuk Forum Rembug Industri Mebel Rotan Trangsan yang diinisiasi oleh Kementerian Perdagangan dan Perindustrian.

Melalui forum ini, ditemukan solusi untuk keluar dari keterpurukan. Trangsan diputuskan akan dijadikan desa wisata yang fokus pada kerajinan rotan, dengan harapan dapat membangkitkan perekonomian desa dan memenuhi pasar ekspor lagi.

Akhirnya, Desa Trangsan bangkit kembali dan meraih reputasi di pasar internasional. Sebanyak 70% kerajinan diproduksi untuk ekspor, sementara 30% untuk pasar domestik.

Ekspor terbesar Desa Trangsan saat ini mencakup wilayah Eropa, Amerika, Australia, Korea, Jepang, dan akan merambah ke Timur Tengah. Desa Trangsan diberi gelar Desa Devisa oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia pada tahun 2023.

Desa Trangsan memberikan kontribusi devisa yang signifikan dan terus bertumbuh. Pada tahun 2019, Desa ini menyumbang USD 3 juta (Rp48 miliar), tahun 2020 USD 5,4 juta (Rp87 miliar), dan pada tahun 2021 mencapai USD 5,7 juta (Rp92 miliar).